Ada setetes rindu
Menyelinap dalam aliran syahdu mata
Deras tiap malamnya
Bagaimana mungkin bait demi baitnya selalu saja sama?
Sedang Tuannya sudah pergi menjauhi dunia
Mengekalkan gundah gulana
Menjadikan warna mata si Inang kelabu
Tidak percaya
Pada cincin di jari manisnya
Sebab aku ingat cumbuan panas di tengah gurun sahara
Sebab aku ingat betapa lembut suara, juga sentuhan demi sentuhan
Memabukkan
Hingga hanyut pada kahyangan
Pada malam-malam berbintang
Jangan tanyakan mengapa
Karena si Ratu hendak memenggal kepalaku
Meguliti daging ku untuk di santapnya
Di araknya ke tengah lapangan luas
Rakyatnya memenuhi panggilan
Untuk menyaksikan
Kematianku
Sebab Tuannya sudah pergi lebih dulu
Di rebus dalam panci panas mengekalkan segala rindu
Katanya, Tuan bisa memeristri lebih dari Ratu
Nyatanya kepunyaannya di renggut pula
Kecintaannya,
hingga bisa membawa Tuan pada kenikmatan dunia
lebih dari Ratu
Lebih dari Ratu yang hanya memberikan isi dunia pada Tuan
"Aku mencintaimu" bisiknya di tengah desahan tiada henti
Nyatanya kau mati juga, Tuan.
Lalu pada terik matahaari pagi
Juga pada rinai hujan malam tadi
Aku bersumpah akan mengutuk segala rindu
yang bermula dari Sungai Nil
hingga gurun sahara
Sudah
Ratumu telah bersiap memangsa se-ekor ular macam diriku
Tunggulah di neraka
Aku tidak sabar ingin mengadu
Bahwa aku juga mencintaimu, Tuan
Bahwa aku akan menghancurkanmu sekali lagi, Tuan.
Dalam kepedihan paling lara
Dunia Nyata
maupun nerakamu
No comments:
Post a Comment